Jumat, 02 Maret 2012

im not (one) of them

Mungkin orang-orang telah memasukkanku ke dalam daftar orang yang perlu dimusuhi. Aku tahu sikapku menyebalkan, sewenang-wenang pada bawahan, sering bertengkar dengan istri tentang soal-soal kecil, tak hadir di setiap acara anakku, tak pernah menyapa tetangga, dan masih banyak lainnya.
Aku tahu dosaku sudah begitu besar. Tapi sekarang sudah terlambat, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi.
Semua dimulai beberapa bulan lalu.

(* * *)

Berita di televisi menyebutkan ada beberapa orang terbunuh dengan sadis, namun semakin lama korbannya semakin banyak. Polisi pada awalnya mengira bahwa itu adalah perbuatan seorang pembunuh berantai, namun dugaan polisi salah.
Suatu ketika saat aku makan di restoran, tiba-tiba seorang gelandangan masuk. Wajahnya pucat dengan liur meleleh, bajunya compang-camping, badannya kurus kering dan jalannya terseok-seok. Beberapa orang berteriak memanggil petugas keamanan. Namun apa yang terjadi saat petugas keamanan berusaha mengusirnya ?
Gelandangan itu menggigit petugas keamanan tersebut dengan liar, dapat kulihat kebuasan di matanya, haus dan lapar. Seperti harimau sedang menerkam mangsanya.
Orang-orang berteriak lagi, dan mulai berlari keluar restoran.
Aku melihat bagaimana gelandangan itu memakan petugas keamanan, darahnya berceceran. Aku tak yakin apa yang akan terjadi selanjutnya, kuputuskan untuk ikut pergi menyelamatkan diri.
Mungkinkah dugaanku benar ? Apakah dia adalah zombie ? Bukankah zombie hanya fiksi sains yang dibuat para kreator untuk menarik keuntungan ?

(* * *)

Tak butuh waktu lama bagi virus zombie untuk mewabah. Sekitar 60 % warga Manhattan telah menjadi zombie. Ini adalah epidemi. Aku tak tahu apa yang akan dilakukan pemerintah untuk menghentikan epidemi ini.
Aku dan keluargaku bertahan dirumah, sementara persediaan makanan semakin habis. Kami kebingungan. Dan keputusan radikal pun kuambil, meninggalkan rumah.
Kami berangkat dengan Jeep pada siang hari. Dengan perbekalan terbatas dan persenjataan ala kadarnya, hanya pisau dapur dan peralatan dapur lainnya. Kami berangkat menuju sebuah mall ditengah kota, kabarnya disana adalah shelter.
Jalanan kota sepi, mobil-mobil berserakan. Persis seperti apa yang aku tonton di Resident Evil atau I am Legend. Ini mengerikan, jantungku tak bisa berhenti berdegup kencang sampai-sampai aku sendiri bisa mendengar suara jantungku. Tanganku gemetaran memegang setir dan keringat dingin mengucur dari tubuhku.
Entah bagaimana suasana hati istri dan anak-anakku. Ekspresi ketakutan jelas tersirat di wajah mereka. Dengan pandangan waspada, dan pisau yang selalu tergenggam.
Dan akhirnya kami pun sampai. Mall ini tak seperti shelter, sepi. Sama seperti jalanan yang kami lewati tadi. Kami pun mencoba masuk.
Bagian dalam mall berantakan, rak-rak jatuh, bungkus-bungkus makanan berserakan, dan kulihat beberapa bercak darah di lantai. Aku semakin tak yakin bahwa ini adalah shelter. Sepertinya berita di televisi itu palsu.
Kami berjalan pelan-pelan. Kuyakinkan istriku bahwa disini bukanlah shelter, namun dia masih saja percaya. Kugenggam pisauku erat, firasatku berkata buruk. Sangat buruk. Seburuk keadaan mall yang semakin ke dalam semakin gelap.
“ Kau yakin ini shelter ? tanyaku lagi.
“ Yakin. “ jawabnya mantap.
Keadaan semakin gelap saat kami berjalan ke dalam. Tiba-tiba kurasa aku menginjak sesuatu, lalu kupungut.
Sebuah jari tangan.
Tiba-tiba seorang zombie muncul di depan kami, nyaris menerkam istriku. Aku panik dan menarik tangan istriku lalu berlari sekencang-kencangnya.
Saat sampai di jeep kami baru sadar bahwa anak kami tertinggal di mall. Istriku panik dan meracau tidak karuan, menyalahkanku, mengumpat dan memukulku.
Kurasa bukan waktu yang tepat untuk bertengkar, kami putuskan untuk kembali ke dalam. Berharap anak kami tidak apa-apa.

(* * *)

Kami mencari ditengah kegelapan, namun tidak menemukan apa-apa. Dan akhirnya aku melihat setumpuk sesuatu di kejauhan.
“ Apa itu ? “ Tanya istriku bersembunyi di balik punggunggku.
Aku sedikit mendekat untuk melihatnya, ternyata itu adalah tumpukan zombie, dan sepertinya sedang memperebutkan sesuatu.
Sayup-sayup kudengar suara minta tolong dari kerumunan itu. Suara yang lirih dan penuh rasa sakit. Kuyakinkan telingaku.
“ Itu anak kita ! “ teriak istriku.
Teriakan istriku membuat para zombie menoleh. Otakku kosong, tak tahu apa yang harus kulakukan dengan sebilah pisau dapur di tanganku.
Aku masih ingat rasa sakit itu, dikoyak, digigit. Aku merasa seperti sapi yang diterkam singa, segerombolan singa.
Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Saat kubuka mataku kuharap aku ada di surga.

(* * *)

Namun tidak, aku tersadar di lantai mall.
Rasa sakit hilang dari tubuhku, kucoba untuk melihat kondisi tubuhku.
Ya Tuhan, tangan kiriku tinggal tulang. Aku sama sekali tidak bisa menggerakkannya. Sedangkan bagian tubuhku yang lainnya lebih mengenaskan.
Aku berjalan terseok-seok seperti zombie lainnya, sepertinya kaki kananku patah.
Lalu aku duduk di pojokan mall, menatap langit-langit. Sementara itu para zombie masih berkeliaran dengan linglung. Beberapa ada yang saling bertabrakan berulang kali. Idiot.
Kulihat seorang zombie berjalan melintasiku. Aku mengenalnya, dia adalah istriku, Stella. Kondisinya tak beda denganku, sama-sama mengenaskan. Aku bangun dari tempatku duduk dan memanggilnya.
“ St..e..lla.. “
Oh suaraku sungguh parau.
Kuberanikan diri untuk menepuk bahunya, dan dia menoleh. Namun tak ada tanggapan, lalu dia melanjutkan berjalan lagi.
Apa yang terjadi ? Apa aku adalah satu-satunya zombie yang masih memiliki sisi manusia ?
Aku pun kembali duduk. Tiba-tiba rasa lapar menyerangku. Rasa lapar yang amat sangat, seolah sudah tidak makan 100 tahun. Lapar. Lapar sekali.
Aku mengambil sebungkus snack favoritku di salah satu rak. Dan kulahap hingga habis, tak ada rasanya. Seperti mengunyah kardus.
Kulahap makanan yang lain, sama. Seperti kardus.
Aku tak tahu apa yang bisa menyelamatkanku dari rasa lapar ini. Rasanya sungguh menyakitkan. Aku pun berbaring di lantai, berharap bisa menghilangkan rasa laparku.
Tiba-tiba para zombie berjalan ke satu arah. Aku pun bangun dan mengikuti arah mereka berjalan. Lalu aku melihat seorang wanita yang dipojokkan oleh zombie. Aku tahu dia ketakutan, dan aku tahu tak ada yang bisa ia lakukan lagi.
Kubiarkan insting zombieku menguasai diriku.
Mataku buta, tak bisa melihat apa-apa lagi. Hanya rasa daging dan darah yang kuingat. Semua untuk memuaskan nafsu zombieku.
Setelah sadar, kudapati diriku ditengah ceceran darah. Kulihat wanita itu belum menjadi zombie. Sungguh kasihan. Begitu pula diriku.
Tiba-tiba aku merasa mual dan langsung muntah disana. Tak perlu aku deskripsikan apa yang aku muntahkan. Ternyata sisi manusiaku tak bisa menerima apa yang aku makan.
Ya Tuhan. Inikah hukumanmu padaku ? Aku menyesal tak berbuat baik dulu. Mungkin inilah hukuman yang pantas buatku. Menjadi makhluk yang bukan manusia dan juga bukan zombie. Tidak hidup dan tidak pula mati. Sungguh kejam dan menyakitkan. Andai saja aku dulu sungguh-sungguh terjun dari lantai 20 saat ditolak wanita saat SMA, tentu saja aku tidak mengalami hal seperti ini.

(* * *)

Hari ketiga. Aku sudah bisa mengendalikan diriku. Aku hanya makan makanan di mall saja, tidak lagi makan manusia.
Ternyata banyak orang yang tertipu dengan iklan di televisi yang mengatakan bahwa mall ini adalah shelter. Entah apa yang direncanakan pemerintah. Aku tidak ingin berkonspirasi.
Hari-hariku semakin sepi, tak ada yang bisa kuajak bicara. Bahkan istri dan anakku sendiri. Mereka hanya berjalan dengan tubuh yang semakin hancur. Menyedihkan, namun aku tak bisa menangis. Aku berharap untuk mati, tapi tubuh ini tidak bisa mati.
Hari kelimabelas, semakin sedikit orang yang datang kesini.
Namun di hari keenambelas, seorang wanita datang. Dia membawa banyak senjata, mulai dari desert eagle, MP7, AK47, shotgun, L115A1 Magnum Sniper, dan yang paling aneh yaitu katana.
Tiap zombie yang menghampirinya dia tembak dengan gesit, sementara aku sendiri bersembunyi dibalik kegelapan untuk memperhatikan gerak-geriknya.
Benar-benar terlatih. Dia mengisi amunisinya nyaris secepat dia menembak, semua dilakukan tanpa ragu. Dapat kulihat dari matanya yang tersembunyi di balik rambut pirangnya yang panjang.
Wanita itu menembak semua zombie tepat di kepalanya, lalu berjalan dengan santai ke bagian dalam mall.
Satu-persatu senjatanya yang amunisinya habis dilempar begitu saja. Hingga akhirnya dia menggunakan snipernya. Aku tak yakin bahwa sniper seperti itu bisa digunakan untuk pertarungan jarak dekat.
Namun dugaanku salah, tanpa membidik dia bisa menembak kepala para zombie. Kurasa ada yang aneh pada wanita itu.
Lalu wanita itu mengeluarkan sesuatu berbentuk kotak dari tasnya, lalu di taruh begitu saja di lantai mall.
Aku mengambil sebongkah batu di dekatku, lalu kulempar ke arahnya.
Secepat kilat dia mencabut katananya dan menebas batu yang kulempar. Aku yakin bahwa dia bukan manusia. Dia sempat mencari keberadaanku, namun karena dia tak menemukanku dia lalu pergi.
Aku menghampiri kotak yang ia tinggalkan. Ada penunjuk waktunya yang terhitung mundur. 59 detik. Aku pun sadar bahwa itu adalah bom waktu. Keinginanku untuk mati tiba-tiba sirna, aku pun bergegas keluar dari mall dengan langkah terseok.
Akhirnya aku berhasil menyelamatkan diriku dari ledakan itu. Jadi maksud pemerintah membuat propaganda bahwa mall ini adalah shelter adalah untuk memusnahkan zombie dalam satu ledakan. Namun ledakan ini tidak terlalu besar untuk itu. Kurasa masih banyak zombie yang berkeliaran. Teori konspirasi pun muncul di otakku. Aku berpikir untuk memecahkannya, lagipula tak ada hal lain yang bisa kulakukan disini.
Aku mencuri sebuah mobil dari sebuah rumah. Tentu saja tidak ada yang akan menangkapku.
Lalu kuhidupkan radio mobil curianku. Kudengar ada shelter lagi di Vancouver. Kuputuskan untuk kesana, sekedar memastikan.

(* * *)

Setelah perjalanan beberapa hari aku pun sampai di Vancouver, kabarnya shelter itu ada di dekat sebuah bukit. Aku pun memacu mobilku kesana. Hingga sampai di sebuah gerbang kayu yang besar.
Kutekan bel masuknya. Kurasa shelter palsu tak mungkin menggunakan bel seperti ini. Hmm menarik.
Pintu gerbang pun dibuka dan aku masuk.
Kulihat banyak orang disekelilingku, manusia. Sungguh-sungguh manusia, bukan zombie seperti yang kulihat akhir-akhir ini. Aku sangat senang bisa bertemu manusia setelah sekian lama.
Tiba-tiba salah satu dari mereka berteriak “ Zombie ! “
Mereka pun mengambil senjata mereka. Tanpa sempat aku menjelaskan apapun, mereka telah menembakku.
Dapat kurasakan peluru menembus tubuhku, dapat kudengar desingnya lewat disamping telingaku.
Aku pun jatuh ke tanah bersalju.
Akhirnya penderitaanku berakhir. Bebas dari kutukan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar