Jumat, 02 Maret 2012

biogas adalah Bla Bla Bla

Biogas adalah energi terbarukan bewujud gas dengan komposisi sebagian besar metana (50-70% CH4) dan karbondioksida (30-40 % CO2) sebagai hasil fermentasi bahan-bahan organik dalam keadaan tanpa oksigen. Ada tiga tahapan proses penguraian bahan-bahan organik menjadi biogas. Tahap pertama disebut hidrolisis. Bahan-bahan organik yang terdiri dari berbagai senyawa komplek seperti karbohidrat, lemak, protein, dan selulosa mengalami proses hidrolisis sehingga terurai menjadi senyawa yang lebih sederhana berupa monomer-monomer senyawa komplek. Tahap kedua disebut asidogenesis. Monomer-monomer akan diubah oleh bakteri asidogen menjadi asam asetat dan hidrogen. Tahap ketiga disebut metanogenesis. Pada tahap akhir ini bakteri metanogen akan memfermentasi asam asetat dan hidrogen menjadi gas metana dan karbondioksida. Selain gas dihasilkan pula bahan-bahan organik yang sudah terurai untuk digunakan sebagai pupuk organik bagi tanaman pertanian atau perkebunan setempat.
Sejarah mencatat pemanfaatan biogas telah dilakukan lebih dari seabad yang lalu di India dengan memanfaatkan biomassa berupa kotoran sapi. Saat ini, beberapa daerah di Indonesia sudah berhasil mengolah biomassa peternakan menjadi biogas. Beberapa peternakan di Banten juga sudah ada yang mengolah limbah kotoran sapi menjadi biogas baik mandiri maupun melalui program pemerintah. Pemanfaatan biogas dari limbah organik pabrik juga telah dilakukan oleh beberapa industri besar di kawasan industri kota Cilegon sejak beberapa tahun silam. Tentunya berita-berita tersebut merupakan kabar yang menggembirakan sebagai usaha untuk mengawali pemanfaatan biogas di daerah Banten.

URGENSI

Upaya untuk meningkatkan pemanfaatan biogas dari bahan organik khususnya biomassa, seperti kotoran ternak dan limbah pertanian/perkebunan perlu dilakukan dengan empat pertimbangan sebagai berikut.

Pertama, ketersediaan bahan bakar fosil yang semakin menipis dari waktu ke waktu. Jika tidak ditemukan cadangan baru, para ahli memperkirakan produksi minyak dunia akan mencapai puncaknya antara tahun 2015 s.d. 2030 setelah itu akan mengalami penurunan produksi minyak. Produksi gas alam dunia diperkirakan akan mencapai puncaknya antara tahun 2020 s.d. 2050. Situasi produksi minyak di Indonesia lebih memprihatinkan lagi, sejak tahun 1995 produksi minyak nasional terus merosot. Tak heran pada tahun 2003 Indonesia telah menjadi net importir minyak bumi. Tambahan pula, Indonesia sudah keluar dari organisasi negara pengekspor minyak OPEC pada tahun 2008.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan ancaman yang cukup serius terhadap kemandirian bangsa di sektor energi. Perlu dilakukan upaya-upaya pemanfaatan sumber-sumber daya energi terbarukan.


Kedua, isu pemanasan global sebagai akibat dari meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca utamanya gas karbondioksida dari emisi kendaraan dan gas buang pabrik. Selain karbondioksida, gas metana hasil fermentasi bahan-bahan organik ternyata memberikan andil cukup besar dalam pemanasan global. Berdasarkan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) diketahui secara molekuler efek rumah kaca metana 20 kali lebih kuat daripada karbondioksida. Situasinya sekarang, konsentrasi gas metana terus meningkat dari tahun ke tahun. Sumber gas metana 60% berasal dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh manusia seperti eksploitasi bahan bakar fosil, aktivitas peternakan, pertanian, pembakaran biomassa dan sampah organik rumah tangga. Sisanya berasal dari sumber-sumber alamiah, contohnya pembusukan bahan-bahan organik di rawa-rawa, danau, sungai. Dengan pemakaian biogas sebagai bahan bakar berarti mengonversi metana menjadi karbondioksida yang lebih rendah efeknya terhadap pemanasan global. Secara teoritis dampak pemanasan global berkurang sebesar 87% dengan pembakaran gas metana.

Ketiga, kebutuhan petani terhadap pupuk organik semakin meningkat seiring dengan sadarnya petani dengan berbagai keunggulan pupuk organik. Peluang ini haruslah ditangkap dengan membuat petani mandiri dalam memproduksi pupuk organik dari biomassa hasil fermentasi anaerob dalam reaktor biogas. Biomassa setelah mengalami proses fermentasi anaerob dalam produksi biogas telah “matang” dan siap digunakan sebagai pupuk organik. Kandungan rata-rata nutrien dalam kotoran ternak hasil fermentasi anaerob untuk nitrogen, pospor (P2O5), dan kalium (K2O) masing-masing adalah 1,60 %; 1,55 %; dan 1,00% (FAO,1996). Kandungan nutrien tanaman hasil fermentasi anaerob lebih tinggi 50-100% daripada pengomposan secara aerob. Selain itu, fermentasi anaerob juga akan mematikan benih-benih gulma dan penyakit yang ada dalam kotoran ternak atau biomassa lainnya. Penggunaan pupuk organik dan pupuk sintetis dengan takaran yang tepat akan melipatgandakan hasil pertanian.

Keempat, sistem fermentasi anaerob merupakan sistem tertutup dan bertemperatur pada rentang 25 – 37 oC. Dengan sistem demikian sanitasi lingkungan akan tercipta lebih baik dan bakteri patogen yang ada di dalam kotoran akan jauh berkurang. Biomassa hasil fermentasi anaerob yang telah sempurna terfementrasi tidak akan menimbulkan bau dan tidak akan menarik lalat untuk datang. Selain itu juga biomassa bisa dicampur dengan berbagai sampah organik untuk menjadi starter dalam pembuatan kompos dengan sistem aerob. Satu bagian biomassa keluaran reaktor biogas bisa dicampur dengan empat bagian sampah organik. Bau kotoran atau sampah akan berkurang, sehingga suasana lingkungan akan terasa lebih nyaman. Berbagai penyakit yang disebabkan oleh serangga vektor pun akan menurun. Pada akhirnya kesehatan para peternak/petani dan lingkungan sekitar akan lebih terpelihara.

TEKNOLOGI

Teknologi pemrosesan biomassa kotoran ternak menjadi biogas sudah berkembang baik. Berbagai tipe digester atau tempat berlangsungnya fermentasi telah dikembangkan dan diterapkan oleh berbagai negara dengan berbagai volume, mulai dari 10 m3 hingga yang berukuran seluas lapangan bola kali tinggi 4 meter dilengkapi dengan instrumentasi dan kontrol yang canggih. Tipe teknologi digester mana yang cocok untuk diterapkan di kawasan pertanian/perkebunan-peternakan wilayah Banten?. Haruslah diperhatikan suatu teknologi yang mudah untuk dipelajari, dirawat, dan dikembangkan oleh para petani namun tetap memperhatikan efisiensi proses. Untuk itu teknologi yang wajar diadopsi adalah teknologi pada tingkatan madya. Alhamdulillah kita hidup di zaman teknologi Informasi, jadi informasi merupakan barang yang berlimpah ruah.Penjelasan mengenai teknologi madya biogas dapat diperoleh di berbagai situs seperti http://www.fao.org/docrep/008/ae897e/ae897e00.HTM. Untuk lebih detail, tentunya melalui dinas-dinas terkait, universitas atau lembaga penelitian yang mengembangkan teknologi digester.

POTENSI AGRO

Peta kawasan pertanian di daerah banten meliputi 22,65 % lahan sawah seluas 195.176 Ha, dan 77,35 % lahan kering seluas 666.680 Ha. Produktivitas padi dari lahan persawahan saat ini sebesar 4.6 ton/Ha. Angka produktivitas padi masih dapat ditingkatkan hingga 8 ton/Ha dengan menggunakan pola penanaman SRI (system of rice intensification). Artinya potensi produksi padi per tahunnya untuk areal persawahan bisa mencapai 3.122.816 Ton. Lahan kering merupakan areal pertanian paling luas, jika mampu dimanfaatkan untuk budidaya padi maka akan memberikan efek yang luar biasa bagi ketahanan pangan Banten.

Untuk areal lahan kering, selain sawah tadah hujan masayarakat peladang dapat memilih komoditas tanaman palawija unggulan, seperti jagung,ubi kayu, ubi jalar, kedelai (kecipir: tanaman potensial pengganti kedelai). Komoditas yang menjadi unggulan di provinsi Banten tidak harus banyak, cukuplah satu atau dua komoditas saja, agar segala daya upaya terfokus ke arah sana. Program jagung 20 ribu hektar yang akan dilaksanakan di Kabupaten Pandeglang menjadi kabar yang menggembirakan. Dukungan dari berbagai pihak untuk mensukseskan komoditas unggulan ini perlu diberikan. Mulai dari teknologi, jaminan harga yang menguntungkan petani, pemodalan, penyederhanaan birokrasi, infrastruktur, hingga pemasaran yang amat penting. Pola seperti itu telah sukses diterapkan oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo (baca: Reinventing local government karya Fadel Muhammad ).

Untuk areal perkebunan pun konsepnya serupa dengan pertanian. Masyarakat pekebun menanam beberapa komoditas unggulan banten seperti, sawit, kakao atau karet. Di masa yang akan datang, komoditas perkebunan yang menjadi bahan baku industri akan semakin diminati oleh konsumen, mengingat harga minyak bumi yang menjadi cikal bakal berbagai produk turunan seperti polimer semakin tinggi dan jumlahnya terbatas.

Kawasan ternak di daerah Banten tersebar di seluruh kabupaten/kota, mulai dari yang terbanyak hingga paling sedikit sbb: Lebak, Pandeglang, Serang, Tangerang. Total ternak kerbau sebanyak kurang lebih 154.000 ekor (Distanak Banten, tahun 2006). Jumlah ternak kerbau dan sapi masih sangat terbuka untuk dapat ditingkatkan lagi mengingat potensi lahan dan pakan dari pertanian baik sawah maupun kering masih luas.

Seluruh sistem pertanian/perkebunan tadi mesti dilakukan secara terpadu dengan peternakan. Peternakan yang dipilih bisa kerbau dan atau sapi. Dengan teknologi yang ada saat ini jerami padi bisa difermentasi untuk meningkatkan daya cerna ternak. Sisa pertanian jagung, ubi jalar, serta tanaman palawija lainnya bisa dijadikan pakan ternak. Areal perkebunan yang luas bisa dijadikan sebagai tempat penggembalaan ternak. Berbagai limbah industri kecil seperti pabrik tahu berupa ampas tahu, pabrik tepung kanji berupa ampas tapioka, industri minyak VCO berupa ampas kelapa, penggilingan padi berupa dedak padi, pengolahan ikan berupa ikan-ikan busuk, rumah pemotongan hewan berupa tepung tulang bisa diberikan sebagai konsentrat bagi ternak. Kotoran ternak yang dihasilkan kemudian sudah semestinya diolah melalui fermentasi anaerob untuk memperoleh manfaat energi biogas. Sedangkan produk samping produksi biogas berupa kotoran ternak yang telah terfermentasi digunakan sebagai pupuk organik untuk tanaman.

POTENSI BIOGAS

Hitung-hitungan potensi biogas yang dapat dihasilkan dari skema ideal integrasi pertanian/perkebunan-peternakan adalah sbb: populasi kerbau yang ada saat ini kurang lebih sebanyak 154.000 ekor. Jika berhasil memenuhi kecukupan daging Provinsi Banten maka minimal jumlah ternak kerbau dan sapi sebanyak 500.000 ekor. Potensi produksi biogas bisa mencapai 225.000 m3/hari. Satu m3 biogas memiliki nilai kalor 20 – 24 MJ/m3 sedangkan minyak tanah memiliki nilai kalor 35-37 MJ/liter. Dengan demikian produksi biogas pada kondisi kamar setara dengan 112.500 liter minyak tanah. Jumlah itu cukup memenuhi kebutuhan rumah tangga petani lebih dari 56.000 KK dengan asumsi pemakaian 2 liter minyak tanah per hari.

Dengan skema pertanian/perkebunan-peternakan terpadu dan terfokus pada komoditas unggulan, potensi ternak sapi dan kerbau masih bisa ditingkatkan lagi untuk memenuhi sebagian kebutuhan DKI Jakarta dan atau Provinsi Jawa Barat. Potensi biogas pun dengan sendirinya akan meningkat.

PENUTUP

Sekali mengayuh dua tiga pulau terlampaui. Dengan skema pertanian/perkebunan-peternakan terpadu, berbagai keuntungan bisa diperoleh sekaligus. Pertama, kemandirian energi untuk rumah tangga petani. Kedua, reduksi gas-gas rumah kaca. Ketiga, swasembada bahkan surplus pangan. Di atas itu semua yang terpenting adalah meningkatnya kesejahteraan para petani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar